Dilema Partai Banteng Menyongsong Pilkada Jakarta

Posted by


JAKARTA, 10/8-Koalisi Kekeluargaan telah mengubah peta politik menjelang Pemilu Kepala Daerah DKI Jakarta. Meski belum merilis calon pasangan yang akan diusung, koalisi yang melibatkan PDI Perjuangan, PKS, Gerindra, PKB, PAN, Partai Demokrat, dan PPP ini hampir dipastikan bakal berhadap-hadapan dengan calon petahana Basuki Tjahaja Purnama. Ahok, sapaan Basuki, didukung oleh koalisi Partai Golkar, NasDem, dan Partai Hanura.

Satu-satunya yang tidak berubah pasca deklarasi koalisi besar adalah peran vital PDI Perjuangan dalam menentukan peta persaingan di Pilkada Jakarta. Sebagai pemilik kursi mayoritas di DPRD, PDI Perjuangan sudah pasti mendapat tempat paling depan di gerbong Koalisi Kekeluargaan. Artinya, keputusan memilih pasangan calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta akan sangat bergantung pada partai berlambang kepala banteng itu.

Nama Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menjadi sosok yang paling dijagokan bakal diusung sebagai calon gubernur DKI Jakarta. Selain kader partai, Risma adalah satu-satunya tokoh yang diprediksi mampu menyaingi Ahok di Pilkada Jakarta. Angapan itu diperkuat oleh sejumlah hasil survey dan komentar para pengamat politik.

Persoalannya adalah, dengan siapa Risma akan disandingkan? Pemilihan calon wakil gubernur punya arti sangat vital. Butuh perhitungan yang matang sekaligus cerdik dari PDI Perjuangan dalam memilih calon pendamping Risma. Mereka harus mampu mengakomodasi aspirasi partai mitra koalisi sambil menjamin kepentingan mereka terpenuhi.

Head to Head 
Skenario pertama yang mungkin ditempuh PDI Perjuangan adalah dengan mengusung pasangan Tri Rismaharini dan Sandiaga Uno sebagai calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta.

Pemilihan Sandiaga tentu memiliki dasar yang cukup kuat. Selain cukup populer, Sandiaga juga bisa menjadi modal bagi PDI Perjuangan untuk membangun sebuah koalisi solid. Pasalnya, selain didukung oleh Partai Gerindra, Sandiaga juga mendapat sambutan hangat dari partai lain seperti PKS, PAN, dan PPP.

Skenario kedua adalah menyandingkan dua kader internal partai yakni Tri Rismaharini dan Djarot Syaiful Hidayat sebagai sebagai bakal calon gubernur dan wakil gubernur DKI Jakarta. Seperti skenario pertama, skenario ini akan menempatkan PDI Perjuangan dan mitra koalisi mereka berhadapan frontal dengan calon petahana Basuki Tjahaja Purnama.

Tentu saja, skenario kedua ini memiliki konsekuensi tersendiri. Mengusung Risma-Djarot bisa memicu ketidakpuasan di internal koalisi. Risiko terburuknya, sejumlah partai memilih keluar untuk membangun koalisi lain atau bahkan menyeberang ke kubu Ahok. Ini jelas akan mengurangi jumlah dukungan pemilih kepada calon pasangan yang diusung PDIP.

Persoalan tak berhenti sampai di situ. Bagaimanapun, skenario mengusung Risma-Sandiaga atau Risma-Djarot tidak menjamin PDI Perjuangan mampu mengalahkan Ahok.

PDIP memang punya pengalaman mengalahkan calon petahana pada Pilkada DKI Jakarta 2012 lalu. Saat itu, PDIP yang mengusung pasangan Jokowi-Ahok berhasil mengalahkan calon petahana Fauzi Bowo yang berduet dengan Nachrowi Ramli.

Namun sulit untuk mengulang kesuksesan itu pada Pilkada 2017 mendatang. Ahok tak seperti Fauzi Bowo. Keunggulannya tak hanya terletak pada status dan kinerjanya sebagai petahana.

Terlepas dari sejumlah kekurangannya, Ahok juga unggul karena karakternya. Sesuatu yang tidak dimiliki oleh Fauzi Bowo, 2012 lalu.

Ahok adalah idola sebagian besar warga Jakarta yang sudah bosan dengan politisi bergaya santun namun penuh kemunafikan. Ahok menjadi antitesis dari karakter politisi Indonesia saat ini: dia tidak berbasa-basi, menolak formalitas dan, yang terpenting, Ahok dianggap pemimpin yang tegas. Semua ciri itulah yang membuat dirinya mampu meraup dukungan dari warga Jakarta, terutama dari kaum muda dan kelas menengah di ibu kota.

Hal tersebut diperkuat oleh hasil survei Saiful Mujani Research Center (SMRC) yang dirilis 21 Juli lalu. Ahok berada di posisi teratas dari 22 calon yang diajukan untuk dipilih kepada responden (simulasi semi terbuka). Dia mendapat 53,4 persen suara, unggul jauh dari peringkat dua Yusril Ihza Mahendra (10,4 persen) atau peringkat tiga Tri Rismaharini (5,7 persen).

Menariknya, jumlah tersebut menunjukkan peningkatan sebesar 16,2 persen dibandingkan survei yang sama pada Agustus 2015. Ini tentunya menjadi pertimbangan penting PDIP sebelum memutuskan pasangan penantang Ahok dalam Pilkada Jakarta.

Bermain Aman 
Dengan risiko yang cukup besar itu, PDIP sebenarnya bisa bermain aman. Caranya adalah dengan mengusung Risma dan calon dari partai lain di satu sisi, sambil mengizinkan Djarot mendampingi Ahok sebagai calon wakil gubernur.

Pilihan itu akan mengurangi risiko kekalahan PDIP di Pilkada Jakarta. Sebab, seandainya Ahok memenangkan Pilkada Jakarta, PDIP masih bisa menautkan kepentingannya pada Djarot. Hanya saja, pilihan tersebut dipastikan akan memicu gonjang ganjing di internal koalisi.

Citra PDIP di mata publik akan tercoreng. Cap sebagai partai oportunis dipastikan melekat kepada partai. Dan, yang paling penting, pilihan itu membuat mesin partai tidak bekerja maksimal karena dipastikan bakal memicu 'perpecahan' antara faksi Djarot dan faksi Risma.

PDIP juga memiliki satu skenario lain. Yakni mencalonkan pasangan alternatif nonpartai. Nama-nama seperti Yusril Ihza Mahendra, Marco Kusumawijaya, dan Rizal Ramli memiliki kapasitas untuk diusung sebagai calon pemimpin Jakarta.

Satu-satunya kelemahan mereka adalah tingkat popularitas dan elektabilitas yang rendah. Ironisnya, itu merupakan kelemahan yang sangat vital di era politik saat ini. Dengan kenyataan demikian, maka mengusung pasangan alternatif nonpartai sama saja memberikan peluang yang semakin besar kepada calon lain, khususnya Ahok untuk memenangkan Pilkada Jakarta. Bunuh diri politik.

Skenario ini tampaknya mustahil diambil oleh PDIP. Sebab Jakarta, sebagai barometer politik di Tanah Air, terlalu vital untuk dilepas begitu saja kepada rival politik mereka. (cnn)

Baca juga:

Koalisi Tujuh Partai Siap Jegal Ahok dalam Pilkada DKI Jakarta

Walau Bimbang PDIP Harus Menang dalam Pilkada Jakarta

Meski Telah Bentuk Koalisi Besar PDIP Masih Bungkam Soal Calon yang Diusung




Blog, Updated at: 11.00.00

0 komentar:

Posting Komentar